SENI BUDAYA

Mengenal Acep Iwan Saidi, Penyair Sekaligus Guru Besar Semiotika ITB

Foto Katanya 01 Oleh Katanya 01 • 23 October 2025
Mengenal Acep Iwan Saidi, Penyair Sekaligus Guru Besar Semiotika ITB
Prof. DR. Acep Iwan Saidi, Penyair dan Guru Besar Semiotika ITB (kiri) dan Abud Heryanto, wartawan KATANYA.ID.(dok.pribadi)



BANDUNG | KATANYA.ID, - Penyair asal Kota Bogor, Acep Iwan Saidi, kembali akan menerbitkan buku puisinya.


Penyair yang kesehariannya sibuk sebagai pengajar staf pengajar di Fakultas Seni Rupa Desain Institut Teknologi Bandung atau FSRD ITB akan mempublikasikan sebanyak 300 sajak yang ia rangkum lewat buku berjudul "Velocity: Antologi Puisi Saku".


Rencananya buku setebal 322 halaman dengan besar seukuran saku atau kantong baju (11 x 16 cm) akan diluncurkan pada November 2025 mendatang.


Buku "Velocity: Antologi Puisi Saku" merupakan salah satu dari sekian buku puisi yang pernah ditulisnya.


Sebelumnya, Kang Ais- sapaan akrab Acep Iwan Saidi, sudah menulis 4 buku puisi, yakni  buku berjudul "Notasi Pendosa (2006), "Tuhan, Kamu, dan Cinta" (2016), "Rindu" (2017) dan Kaleidoskop (2021). 

 

Bagi Ais, menulis sajak merupakan sebuah bentuk rekreasi untuk melepaskan ikatan dari belenggu kehidupan. Meski ia sendiri tidak meyakini jika hidup disebut belenggu yang terkadang membosankan.


Sementara tema dari rangkaian kata ia tulis dan kemudian menjadi karya, merupakan alat pemicu dari sebuah rekreasi itu.


“Bagi saya, menulis sajak merupakan rekreasi mengunjungi situs-situs bahasa, sedangkan tema lebih banyak berfungsi sebagai pemicu, " aku pria kelahiran Bogor, 9 Maret 1969 ini, pada Kamis (23 Oktober 2025). 


"Saat berkunjung ke dalam situs bahasa, saya merasa terbebaskan. Entah terbebas dari ikatan apa, saya tidak betul-betul paham," sambungnya. 


"Saya juga tidak yakin jika hidup disebut sebagai belenggu. Barangkali karena terlalu banyak pihak yang membuatnya menjadi payah saja, dunia ini kadang-kadang membosankan” pungkasnya.


Bukan Penyair Sembarangan


Penyair satu ini bukan orang sembarangan. Ia merupakan alumnus Universitas Padjadjaran (UNPAD), peraih gelar Magister dari Univeristas Indonesia (UI), dan penyandang gelar Doktoral dari Institut Teknologi Bandung (ITB).


Pada Juni lalu, Kang Ais dikukuhkan sebagai Guru Besar di bidang Semiotika Seni dan Desain dari ITB


Selain mengajar di ITB, Kang Ais juga mengajar di sejumlah perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Ia juga tergabung dalam kenggotaan di Konsorsium Seni dan Desain Indonesia, pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Wilayah Bandung Ikatan Sarjana Sastra Indonesia dan Wakil Ketua Bidang Penelitian dan DiseminasiI katan Guru, Peneliti Budaya, Bahasa, Sastra, Komunikasi, Seni, dan Desain.


Kang Ais juga pernah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Indonesia berupa Satyalancana Karya Satya 20 Tahun dari President Republik Indonesia pada tahun 2024 dan peraih The Best Presenter of National Strategic Research Results dari Direktorat Kementerian Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.


Selain menulis buku puisi, Kang Ais juga sudah menulis buku lain di luar puisi, diantaranya buku "Matinya Dunia Sastra" (2006), "Seni Rupa Kontemporer Indonesia: (2009), "Mendesain Penjara" (2012), "Mengapa Saya Bukan Aku" (2012), "Desain, Media, dan Kebudayaan" (2017), "Surat Malam Untuk Presiden" (2017) dan "Homo Artem" (2021), serta sejumlah buku yang ditulis bersama penulis lainnya. 


Profesor Jual Ijazah Palsu


Pada kegiatan pasar seni ITB pada 19 Oktober lalu, Kang Ais membuat even yang nyeleneh. Bisa dibilang ia salah seorang 'biangkerok'  even bertajuk “Membukukan Pasar Seni. Menyenikan Pasar Buku”.


Bersama Prof Yasraf Amir Piliang, ia membuka stan 'Jual Ijazah Palsu' di arena pasar seni yang kembali hidup setelah vakum selama 11 tahun ini. 


Stan jual beli ijazah palsu sehari dan menjamin pembelinya bisa diwisuda, ini merupakan respons terhadap situasi sepuluh tahun belakangan yang dipenuhi kepalsuan.


“Dari mulai pejabat sampai masyarakat sudah kehilangan kejujuran dan integritas. Hal itu ditandai dari jual-beli gelar yang menghilangkan nilai-nilai di balik proses mendapatkan gelar itu sendiri,” jelas Yasraf, rekan seprofesi Kang Ais kala itu.


Dalam ijazah yang dijual' dicantumkan juga nama universitas “Institut Pasar Seni Indonesia” disertai tanda tangan Prof Yasraf sebagai Rektor Institut Pasar Seni Indonesia dan Kang Ais sebagai dekan Fakultas Berlaku Sehari.


Even yang digagas Kang Ais dan Prof Yasraf ini pun kemudian menghebohkan publik.(*)


Bagikan Berita Ini: